Malioboro yang menjadi salah satu simbol bagi Yogyakarta telah mengalami banyak perubahan. Melihat malioboro sekarang menunjuk kemajuan yang ada mungkin membuat orang kagum, setidaknya dari segi fisik. Namun mengurangi suasana yang pada waktu dulu mungkin pernah ada, misalnya keteduhan sepanjang jalan kawasan malioboro. Meskipun malioboro menjadi tempat dagang (dulu maupun kini), tetapi ada suasana lain yang tidak bisa ditemui ditempat lain, setidakya ada sentuhan kultural. Namun malioboro sekarang sepenuhnya adalah untuk kepentingan niaga. Bukan persoalan benar atau salah, tetapi orang segera tahu, bahwa malioboro telah berubah. Foto malioboro tahun 1936, yang diambil dari tugu teteg (tugu kereta api) setidaknya bisa menunjukan perubahan teteg dulu dan sekarang, dan ini artinya tugu teteg dan sekitarnya telah mengalami banyak perubahan. Apalagi jika melihat malioboro tahun 1949, di mana republik Indonesia belum lama merdeka, malioboro telah mengalami perubahan, padahal hanya selisih 13 tahun. Dua foto malioboro "tempo doeloe" setidaknya bisa membuka ingatan masa silam menyangkut malioboro dan menaruhnya pada realitas malioboro sekarang. Perubahan akan segera bisa dilihat.



Malioboro pada tahun 1949
MALIOBORO
Malioboro merupakan salah satu kawasan wisata belanja andalan kota Jogja, kawasan ini didukung oleh adanya pertokoan, rumah makan, pusat perbelanjaan, dan tak ketinggalan para pedagang kaki limanya. Barang yang diperdagangkan dari barang import maupun lokal, dari kebutuhan sehari-hari sampai dengan barang elektronika, mebel dan lain sebagainya. Kawasan Malioboro juga menyediakan aneka kerajinan, misal batik, wayang, ayaman, tas dan lain sebagainya. Terdapat pula tempat penukaran mata uang asing, bank, hotel bintang lima hingga tipe melati.



Keramaian dan semaraknya Malioboro juga tidak terlepas dari banyaknya pedagang kaki lima yang berjajar sepanjang jalan Malioboro menjajakan dagangannya, hampir semuanya yang ditawarkan adalah barang/benda khas Jogja sebagai souvenir/oleh-oleh bagi para wisatawan. Mereka berdagang kerajinan rakyat khas Jogjakarta, antara lain kerajinan ayaman rotan, kulit, batik, perak, bambu dan lainnya, dalam bentuk pakaian batik, tas kulit, sepatu kulit, hiasan rotan, wayang kulit, gantungan kunci bambu, sendok/garpu perak, blangkon batik [semacan topi khas Jogja/Jawa], kaos dengan berbagai model/tulisan dan masih banyak yang lainnya.
Para pedagang kaki lima ini ada yang menggelar dagangannya diatas meja, gerobak adapula yang hanya menggelar plastik di lantai. Sehingga saat Malioboro cukup ramai pengunjung akan saling berdesakan karena sempitnya jalan bagi para pejalan kaki karena cukup padat dan banyaknya pedagang di sisi kanan dan kiri.
Kamis, 10 September 2009 | 11:04 WIB
Yogyakarta, Kompas - Penataan fisik kawasan Malioboro saat ini dinilai tidak kreatif dan minim inovasi baru. Kenyamanan dan keamanan para pejalan kaki kurang mendapatkan perhatian. Karena itu, sudah saatnya dilakukan penataan ulang di berbagai sisi.
Hal itu terungkap dalam dialog budaya dan gelar seni Jogja untuk Semesta bertema "Potret Malioboro Tempo Doeloe dan Akan Datang", Selasa (8/9) malam di Bangsal Kepatihan.
Sejumlah narasumber yang hadir Slamet Sutrisno (dosen Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada), Widihasto W Putra (Dewan Penasihat Yayasan Studi Masyarakat), dan Munichi Bachron Edrees (Ketua Ikatan Arsitek Indonesia DIY).
Munichi menuturkan, ide kreatif dan terobosan besar penataan Malioboro pernah dilakukan 1972. Saat itu, mahasiswa arsitektur UGM menggelar pameran arsitektural di Senisono untuk mengkritisi Malioboro dengan mengundang Pemerintah Kota Yogyakarta. "Ada ide menarik, toko di sepanjang Malioboro "dikrowak" dijadikan pedestrian. Kami presentasikan ide itu dan disetujui," ungkapnya.
Usulan itu direalisasikan. Toko-toko Malioboro di bagian lantai satu dibongkar sebagian dijadikan pedestrian. "Pemikirannya dulu pedestriannya kurang lebar," katanya.
Ide lain membuat belokan jalan dari Mangkubumi menuju Malioboro yang kini dikenal Jalan Kleringan. Ide ini muncul karena setiap kereta melintas di depan Stasiun Tugu terjadi kemacetan panjang. Terobosan gagasan tersebut ternyata sangat bermanfaat. "Nah, ide menarik seperti itu sekarang kok tidak pernah ada lagi," katanya.
Ide menutup Malioboro bagi kendaraan bermotor, seperti pernah dilontarkan WS Rendra tahun 1970-an, sangat menarik namun akan membawa konsekuensi kemacetan luar biasa di jalan-jalan sekitar Malioboro.
Ide menutup Malioboro untuk mengatasi kesemrawutan lalu lintas dan menjadikannya kawasan pedestrian kembali dilontarkan Widihasto. Ide ini diakui tidak mudah dilakukan namun bisa dijalankan. "Dibutuhkan kantong-kantong parkir. Yang sekarang ada sudah tidak memadai," ujarnya.
Penataan pedagang kecil, lanjutnya, sudah jauh lebih baik daripada masa lalu. Namun, limbah lesehan yang dibuang di saluran drainase hingga kini belum mendapat solusi terbaik.
"Pepohonan besar sangat kurang. Kalaupun ada taman, itu hanya berupa taman artifisial kecil di atas pembatas jalan. Di siang hari, taman ini tidak memberi keteduhan, tertelan hiruk-pikuk kendaraan yang melintas," tuturnya.
Slamet menyatakan, selain bisnis, Malioboro mestinya juga memberikan pelayanan bagi kebutuhan lain, seperti pelayanan publik, rekreasi, dan artikulasi pikiran-pikiran cerdas dan kritis. (RWN)

0 comments:

Post a Comment